Senin, 12 Maret 2012

Kesaksian

08 Maret 2012
Hari ini, selepas mengikuti mata kuliah Sosiologi Kesehatan ada banyak hal yang membuat aku menjadi kembali berpikir namun diselimuti rasa bersyukur yang lebih dan lebih besar dari rasaku sebelumnya...
Hikmah yang terasa dari sepenggal kisah yang dituturkan langsung dengan rangkaian kata-kata manis dan mengena...
--
Seperti hari-hari sebelumnya ku pilih bangku keramatku di barisan nomer dua tak jauh dari muka kelas...
Ku simak baik-baik meteri yang disampaikan dosen dengan mata terbelalak dan hati berdebar. Ada satu kalimat dari beliau yang sampai sekarang masih terngiang-ngiang di telinga... “ Profesi kita ini, menuntut kita lebih dari pada yang lain...”
Profesi ini, menuntut pelakunya untuk menjadi lebih dewasa dari teman-teman seusianya. Kami didera bertubi-tubi rintangan dan berbagai masalah yang mesti kami hadapi di masyarakat desa, suatu komunitas paling berpengaruh dalam jejaring sosial khas masyarakat indonesia. Dimana, dalam beberapa sudut pandang, masih mengedepankan sisi kulturis dan hal ini membuat mereka sulit untuk ditembus apalagi dari sisi kesehatan...
Cerita diawali oleh salah seorang teman yang saat ini telah berprofesi sebagai bidan sejak tahun 1990an. Beliau bercerita, bagaimana dia yang saat itu baru lulus dari pendidikan bidan B selama 1 tahun setelah menamatkan pendidikan SPK (setara SMA), kalau diambil akurasinya sekitar 18 tahunan usia beliau saat itu, dan beliau sudah harus dituntut untuk mengemban beban berat di sebuah desa yang jauh dari lingkungan nyaman seperti sebelumnya.
Bulan-bulan pertama, merupakan bulan penuh ujian dan telah banyak air mata yang beliau keluarkan ..
Dengan pandangan skeptis dari masyarakat desa yang ia terima, dan penerimaan yang tidak sesuai harapan membuat beliau yang saat itu terbilang masih terlalu muda dan masih berpandangan sempit dalam segala hal, menuntutnya untuk berpikir lebih dewasa dan berpikir keras untuk dapat menarik perhatian dan simpatik masyarakat. Berharap mendapatkan kepercayaan masyarakat yang kemudian mampu menjadikannya menjadi pilihan pertama dalam segi pelayanan kesehatan dan kebidanan.
Pandangan ini ia terima di saat-saat pertama beliau mengabdi di masyarakat desa.
“halah opo iki, cah cilik iso opo?”
Celaan dan cibiran ini senantiasa tiada habisnya diterima, rasanya sulit sekali meyakinkan masyarakat bahwasanya meski masih baru dan muda, ia memiliki kemampuan.
Tahun 1990, pemerintah indonesia melalui departemen kesehatan mengeluarkan program untuk menulurkan bidan-bidan ke pelosok desa di seluruh wikayah Indonesia untuk mengurangi angka kematian Ibu dan mencapai target kesehatan Nasional. Hal ini yang menyebabkan, para lulusan SPK wanita, kemudian ditarik kembali untuk mendapatkan pendidikan bidan B selama 1 tahun, yang kemudian dipersiapkan menjadi bidan.
Salah satunya, adalah sosok bidan yang satu ini...
Mendapatkan kesempatan emas menjadi bidan merupakan hal yang sulit untuk ditolak... “Ah...tidak apa-apa dan tak ada salahnya bila aku menerjunkan diriku menjadi tonggak pertama kesehatan Ibu di Indonesia”pikirnya. Melalui tangannya lah harapan bangsa terhadap peningkatan status kesehatan ibu dan anak di sandarkan.
Dengan penuh tekad, semangat, kerja keras dan tak lupa diiringi oleh doa.. Beliau masuk dan mulai tinggal di desa. Ada satu harapan kecilnya, menjadikan masyarakat mau mempercayainya dan menjadikan mereka lebih sehat dan berperilaku sehat.
Kepercayaan masyarakat bahwa bersalin yang aman adalah dengan dukun. Maka, tak ada pilihan lain untuk beliau memutuskan mulai mendekati dan menjadikan dukun sebagai mitranya bekerja. Mendekati dukun beserta tokoh-tokoh agama dan masyarakat rutin beliau lakukan. Dengan mengandalkan sepeda onthel miliknya, beliau seringkali meminta dukun untuk mengajaknya menolong persalinan. Hal yang tidak logis apabila kita terapkan pada kehidupan zaman sekarang ini, namun memang itulah adanya, pada saat itu, langkah itulah yang sanggup ia ambil untuk mulai mengenalkan diri kepada masyarakat.
“saya mulai dengan mendekati mbah dukunnya mba...kemana-mana kalau ada lahiran, saya minta sama mbah dukunnya..minta diajak.. saya yang waktu itu masih kecil harus mboncengin Mbah dukunnya yang badannya gendut-gendut itu... haha... ya saya ikutin aja.. saya jadi asistennya mbah dukun lah istilahnya...”
“sejak saat itu, masyarakat mulai mengenal saya... Butuh waktu lama buat menjalani itu semua, sampai akhirnya satu persatu warga mulai saya dekati, untuk melahirkan di saya... namun tetap dengan pendampingan mbah dukun... ya awalnya masih saja ada yang sinis sama saya... Tapi semua ini proses, mba.. Yang penting kita buktikan ke masyarakat kalau kita punya skill...” ujar beliau..
Cerita serupa saya dapatkan dari bidan lain,
Sampai pada suatu waktu, dimana hari sudah larut malam.. Seorang warga tergopoh-gopoh menghampiri nya dengan raut muka padam...dan dengan nafas tersengal... “Bu...tolong istri saya...istri saya melahirkan dan keluar darah yang banyak sekali....tolong saya bu..”
Tanpa pikir panjang, sang bidan langsung menyambut ‘tawaran’ tersebut dengan hati yang campur aduk kala itu, bagaimana tidak.. untuk pertama kalinya, sebagai seorang bidan dia merasa dibutuhkan oleh masyarakat. Saat itu, bidan sedang menghadiri suatu acara perkumpulan desa dan tidak membawa bekal peralatan yang memadai, namun dengan situasional yang darurat.. beliau putuskan untuk segera melihat kondisi ibu.
Benar apa yang diceritakan bapak tadi, saat ini kondisi ibu sudah lemas, dan banyak darah yang ia keluarkan dari vagina. Rupanya kontraksi ibu jelek, dengan sigap ia segera memasukan tangan untuk melakukan bimanual internal (suatu tindakan penyelamatan terhadap kondisi perdarahan setelah melahirkan)...
“ Saat itu, yang saya pikirkan adalah, bagaimana saya segera menolong ibu, dan menyelamatkannya... tanpa menggunakan sarung tangan karena kalau saya musti ambil sarung tangan di rumah,..saya tidak tahu apa yang akan terjadi... jadi saya putuskan untuk memasukkan tangan saya tanpa pelindung ...Bismillah...”ujarnya
“Inipun, pertama kalinya mereka percaya sama saya, saya gak mau melewatkan kesempatan ini dan membuat mereka kecewa...secara psikologis saya juga merasa tiba-tiba ada kekuatan luar biasa yang muncul dan menguatkan hati saya... Alhamdulillah ibu tersebut tertolong...dan mulai saat itu, masyarakat mempercayai saya..”’Lanjutnya.
Mungkin itu hanya sekelumit kisah yang bisa mereka tuturkan... namun, benar adanya dengan apa yang disampaikan oleh dosen bahwasanya memang untuk menjadi seorang bidan,....ada tekad yang benar-benar kuat bila sudah menerjukan diri ke dunia ini... persiapkan diri dan mental..itu kunci utama. Dan Ingatlah, Allah akan menolong hambanya...
Suatu saat...aku harus mengalami ini... harus dimunculkan kedewasaan itu..mulai saat ini..agar dapat kutempa diri dan jiwaku...untuk menjadi seorang bidan yang hebat dan bermanfaat. Amiin